Popularitas Akseptabilitas Elektabilitas

Populer Belum Tentu Layak, Layak Belum Tentu Dipilih

Illustrasi KaltimChoice

SAMARINDA – Mendekati tahun politik 2024 mulai bertebaran rilis hasil survey / riset politik yang digunakan untuk mengukur persepsi publik demi mendapatkan informasi tingkat keterpilihan (elektabilitas). Hangatnya situasi politik pun mulai sedikit demi sedikit naik intensitasnya.

Lalu, bagaimana sebenarnya konstruksi dari sebuah elektabilitas?

Sebuah kata yang paling umum didengungkan media yaitu elektabilitas, merujuk kepada KBBI hal itu dapat diartikan sebagai keterpilihan, yang dimaksud keterpilihan disini adalah seberapa tinggi keinginan publik dalam memilih sesuatu baik itu barang, jasa, personal, badan maupun partai politik. Namun, sudahkah kita memahami elemen-elemen yang membangun sebuah elektabilitas?

Pertama, Popularitas – sudah seberapa populer anda? Seberapa anda dikenal oleh khalayak yang akan memilih anda? tidak pernah akan ada pemilihan tanpa ada opsi sebelumnya dan tidak ada akan ada opsi yang dipilih tanpa diperkenalkan terlebih dahulu.

Pada ilmu pemasaran hal ini disebut dengan Brand Awareness, sudah seberapa terkenal brand anda itu lah yang akan secara simultan menentukan nilai jual dan jumlah penjualan anda. Pada tahap ini kuantitas bermain sangat signifikan, jumlah penyebaran informasi yang masif dari Brand anda akan mendongkrak lebih tinggi tingkat popularitas anda.

Kedua, Akseptabilitas – sudah seberapa layakkah anda? Mungkin anda sudah sangat terkenal namun khalayak memiliki definisinya tersendiri kepada sosok pemimpin yang ideal. Mencocokkan profil yang anda miliki dengan keinginan khalayak terhadap sosok seorang pemimpin adalah kerja peningkatan Akseptabilitas, yang menjadi fundamental pada hal ini adalah kualitas informasi, segala informasi masif yang tadi sudah disebarkan haruslah berkesesuaian dengan keinginan khalayak. Kelayakan tersebut lah yang akan menciptakan pertimbangan untuk memilih dalam benak publik.

Ambil Contoh, Komparasi antara Raffi Ahmad dengan Ir. Joko Widodo, keduanya sama-sama populer di Indonesia, namun yang memiliki profil paling cocok untuk memimpin negara adalah Ir. Joko Widodo. Disinilah, tingkat akseptabilitas berbicara seberapa match dan berkualitas profil yang anda sebarkan melalui informasi yang masif, yang akan mempengaruhi tingkat penilaian kelayakan publik.

Setelah dua elemen sebelumnya terpenuhi barulah kita masuk di tingkat elektabilitas, tingkat penjualan, laku atau tidak lakunya sesuatu yang ditawarkan kepada khalayak, dalam dunia bisnis Sales Process-lah yang berperan disini seberapa kuat anda mampu mengkonversi rasa simpati publik kepada sesuatu yang ditawarkan, menjadi sebuah penjualan.

Elektabilitas bisa saja stagnan atau bahkan turun jika pada proses yang diterapkan anda tidak mampu menjangkau keinginan pasar, memelihara pasar dan menjaga calon pemilih brand anda sampai tiba harinya dia membeli/memilih.

Ulasan, pada tingkat pertama anda sudah memulai dengan bangunan popularitas namun masih belum tentu layak dalam persepsi masyarakat, selanjutnya, sudah layak dalam persepsi masyarakat namun tidak ada usaha untuk mengkonversi kelayakan tersebut menjadi keterpilihan maka anda belum tentu dipilih. Hanya sinergi yang simultan dan harmonis dari ketiga tahap itu yang akan memastikan sebuah brand dipilih oleh Publik.

Dengan memahami elemen-elemen penyusun elektabilitas kita bisa lebih cermat dalam menilai dan memahami situasi politik bangsa, mampu memilah mana informasi yang bermanfaat atau tidak. Sensasi? Pencitraan? Kontroversi? Polarisasi? Itu hal yang biasa dalam pembentukan derajat popularitas, yang tidak biasa adalah respons berlebihan kita terhadap informasi-informasi tersebut yang bahkan berpotensi mencederai kehormatan diri sendiri dan orang lain, dan yang lebih menakutkan lagi adalah merusak rasa persatuan sebagai anak bangsa.

Dalam penilaian kami generasi kedepan akan semakin lebih cerdas dan bangsa kita akan shifting dari populasi pemilih yang emosional ke pemilih yang lebih rasional. Lebih jeli, peka dan tidak mudah termakan isu-isu gorengan.

Sudahkah cara kampanye para kandidat shifting-up?