Aktivitas penambangan Batu bara (Sumber: ANTARA)
Aktivitas penambangan Batu bara (Sumber: ANTARA)

Otak-Atik Regulasi, Jokowi Beri Izin Tambang Untuk Ormas Keagamaan, Jatam: Demi Menjinakkan Ormas-Ormas Keagamaan

Otak-Atik Regulasi, Jokowi Beri Izin Tambang Untuk Ormas Keagamaan, Jatam: Demi Menjinakkan Ormas-Ormas Keagamaan

Aktivitas penambangan Batu bara (Sumber: ANTARA)
Aktivitas penambangan Batu bara (Sumber: ANTARA)

(KALTIMCHOICE.COM) Nasional – Di depan warga NU, tahun 2021 Presiden Jokowi pernah menjanjikan konsesi pertambangan mineral dan batubara. Alasanya, “dapat menggerakkan gerbong-gerbong ekonomi kecil”.

Janji itu telah ditepati melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid tersebut resmi diundangkan pada 30 Mei 2024.

Meski demikian, banyak aktivis pegiat lingkungan menolaknya. Salah satunya muncul dari kordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar. Diungkapnya, pemerataan ekonomi yang dilontarkan pemerintah hanyalah “dalih obral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan”.

“Umat dari ormas-ormas keagamaan juga harus bersuara. Jangan sampai itu hanya pilihan elite ormas, tidak berdasarkan aspirasi umat,” kata Melky dilansir melalui BBC News Indonesia (Sabtu, 1 Juni 2024.

Dengan adanya kebijakan tersebut, muncul pertanyaan “apakah ormas keagamaan layak mendapatkan izin pertambangan?

Setiap badan usaha negara dan swasta yang mengelola tambang wajib memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, serta finansial. Namun tidak ada rincian soal syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh badan usaha milik ormas.

Melky menilai, ormas keagamaan tidak mungkin memenuhi kriteria-kriteria yang wajib dimiliki untuk pertambangan. Oleh sebab itu, skema yang mungkin diterapkan dalam hal ini adalah ormas menjadi pemegang konsesi yang bekerja sama dengan perusahaan lain sebagai operator.

Skema ini pada akhirnya justru memudahkan perusahaan-perusahaan untuk masuk ke wilayah pertambangan khusus melalui ormas-ormas keagamaan tanpa melalui proses lelang lebih dulu.

“Perusahaan-perusahaan akan senang karena akan mendapat wilayah konsesi baru. Ini semacam kado tambahan bagi perusahaan, tapi diberikan kepada ormas,” ujar Melky.

Picu Konflik Masyarakat adat vs Ormas Keagamaan

Selama ini, banyak kelompok masyarakat adat berhadapan dengan perusahaan dan aparat akibat aktivitas penambangan. Tanah yang telah di diami oleh masyarakat adat kerap tumpang tindih dengan izin konsesi penambangan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan belum ada pengakuan negara atas tanah-tanah adat yang mereka diami.

Saat ormasi keagamaan masuk dalam pusaran itu, dikhawatirkan akan timbul konflik horizontal.

“Ini bisa menjadi konflik SARA malah. Misalnya ketika satu kelompok adat terdiri dari kelompok agama tertentu, kemudian dimasuki oleh ormas keagamaan dari kelompok agama lainnya, itu isunya berpotensi dipelintir ke mana-mana,” kata Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman.

AMAN mengungkapkan, kebijakan itu akan menimbulkan masalah baru. Itulah sebabnya, mereka (AMAN) mendorong agar pemerintah fokus membenahi konflik-konflik agraria yang dipicu oleh kehadiran tambang.

Bahkan berdasarkan Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA), terdapat 32 konflik agraria akibat tambang sepanjang 2023. Itu berdampak pada lebih dari 48.000 keluarga di 57 desa.

Tumpang Tindih Regulasi

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara substansi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Artinya, ormas keagamaan tidak termasuk sebagai pihak yang dapat menerima penawaran prioritas.

Kebijakan yang baru saja disahkan mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 seolah mengabaikan tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Jokowi semacam membuat regulasi sembari mengabaikan regulasi yang sudah ada. Ini adalah bentuk otak-atik regulasi supaya langkah yang diambil pemerintah itu sesuai dengan regulasi, padahal tidak sesuai dengan undang-undang,” kata Melky.

(KC/SA)